Pidato J. Leimena

"Tindakan ini adalah suatu tindakan historis bagi dunia mahasiswa umumnya dan masyarakat Kristen pada khususnya. GMKI menjadilah pelopor dari semua kebaktian yang akan dan mungkin harus dilakukan di Indonesia. GMKI menjadilah suatu pusat sekolah latihan (leershool) dari orang-orang yang mau bertanggungjawab atas segala sesuatu yang mengenai kepentingan dan kebaikan negara dan bangsa Indonesia. GMKI bukanlah merupakan Gesellschaft, melainkan ia adalah suatu Gemeinschaft, persekutuan dalam Kristus Tuhannya. Dengan demikian ia berakar baik dalam gereja, maupun dalam Nusa dan Bangsa Indonesia. Sebagai bagian dari iman dan roh, ia berdiri di tengah dua proklamasi: Proklamasi Kemerdekaan Nasional dan Proklamasi Tuhan Yesus Kristus dengan Injilnya, ialah Injil Kehidupan, Kematian dan Kebangkitan"

GMKI Komisariat FEB USU

GMKI Komisariat FEB USU
Keluarga besar GMKI Komisariat FEB USU

Senin, 17 Maret 2014

Ketika Mahasiswa [mau] Dijadikan “Mesin”



Ketika Mahasiswa [mau] Dijadikan “Mesin”
Seorang intelektual adalah  seorang aktivis pemikir bebas yang memiliki ketajaman nalar dan kepekaan dalam mencerna realitas di sekelilingnya sekaligus membongkar berbagai bentuk manipulasi dan hegemoni. Seorang visioner berjiwa progresif yang anti dengan segala bentuk kejumudan dan kemapanan, independen dengan pikiran dan tindakannya, memiliki keyakinan bahwa pengetahuan teoritis mesti dibarengi dengan tindakan ‘politis’, yang kemudian membuat ia memiliki kehendak dan inisiatif untuk terlibat langsung dalam agenda-agenda perubahan. Mahasiswa selalu dapat mengarahkan jiwa mudanya untuk berbuat banyak dalam perubahan sosial sebab didukung oleh hal yang disebutkan diatas.
Namun, hal diatas adalah “ideal”-nya dari seorang yang dikatakan “mahasiswa”. Situasi sekarang sudah berubah 180 derajat. Bukan lagi bisa disebut pemikir. Hanya pegiat “fashion dan gadget”[ segan untuk nginggris sebenarnya]. Tetapi, yang menjadi fokus tulisan ini sebenarnya bukanlah untuk lebih dalam membahas itu. Ini lebih kepada situasi mahasiswa sekarang yang nalar kritisnya dibungkam dikampus dan dipaksa untuk mengikuti sistem serta mematuhi dosen tanpa protes apa-apa. Sebenarnya, hati nurani mahasiswa sudah sangat terganggu dalam persoalan seperti ini. Namun, yang  menjadi dilema adalah rata-rata mahasiswa “takut” nanti nilainya dikebiri jika berani menentang hegemoni kampus. Juga, mahasiswa-mahasiswi yang datang dari kampung dibebani tuntutan orangtua bahwa harus cepat tamat, kerja, nikah dan seterusnya. Inilah sebenarnya tali pengikat yang membuat berbagai ketakutan dalam diri seorang aktivis pemikir bebas yang nalarnya tidak mau dibungkam serta tidak ingin dijadikan mesin. Sebenarnya, pertanyaan mendasar adalah apa gunanya pendidikan? Apakah sebenarnya pendidikan itu adalah “memesinkan” manusia, membuat  manusia patuh total pada guru atau dosen seolah-olah mereka dewa? Sejak SD, kita sudah dibuat menjadi mesin sebenarnya. Kita diajari untuk menghafal, bukan untuk memahami. Kita diajari hanya teori, sedangkan riset dan praktek langsung sangat jarang. Sebenarnya, sangat ironis istilah mesin penghafal. Namun, istilah itu sangat cocok. Masuk ke Perguruan Tinggi [baca: Fakultas Ekonomi USU] dengan berbagai jalur. Terserah jalur manipulasi atau jalur bersih. Jalur diskriminasi atau jalur uang. Masuk dengan berlatar belakang satu pemikiran yang diikat oleh beban ingin kerja dan cepat tamat. Ingin mendapatkan gelar sebanyak mungkin, tanpa memperdulikan apakah memang “isi” dari manusia itu sepanjang gelarnya. Ketika sudah ada di kampus, lain lagi persoalan yang terjadi. Belajar ilmu ekonomi dengan sangat patuh. Membeli buku “barat” dengan baik. Itupun kalau disesuaikan dengan konteks Indonesia. Tetapi, nyatanya tidak. Isi buku itu ditelan tanpa dicerna dengan baik. Inilah proses indoktrinasi yang mengerikan. Bagi para mahasiswa yang nalarnya bahkan tidak berfungsi, membuat pemikirannya kebarat-baratan dan selalu mengagung-agungkan bangsa barat padahal badannya asli Indonesia, pikiran Indonesia , lidah Indonesia.
Selanjutnya, kita memang belajar di Fakultas Ekonomi. Namun, kita membuat seolah-olah ilmu ini hanyalah ilmu yang mengawang-awang. Kita pelajari tanpa kita langsung praktekkan. Ilmu ekonomi adalah ilmu aplikatif. Tujuan kita mempelajarinya adalah untuk kesejahteraan rakyat. Berbuat untuk rakyat bukan harus setelah menjadi alumni. Justru, sekarang adalah saat yang sangat efektif. Sudah seharusnya kita terjun ke pasar-pasar tradisional mengadakan advokasi, mengangkat ekonomi masyarakat kecil, dan lain-lain. Intinya, keberpihakan kita bukan pada pemilik modal [baca:kapitalis buncit] tetapi kepada mereka yang tertindas akibat ketidakadilan yang terjadi.
Sistem pendidikan kita ini bukanlah memang untuk memanusiakan manusia. Walau, tujuan sebenarnya dari pendidikan adalah itu. Nah, ini yang lebih mengerikan, “Universitas untuk Industri”. Jika nalar kritis anda berjalan, anda pasti dapat menduga apa makna motto itu. Yang pasti maknanya adalah judul dari tulisan ini. Namun, jika nalar kritis anda macet total seperti kota Medan sekarang ini, ya apa mau dikata. Nalar kritis yang macet total adalah seperti cerita ini: Ada seorang profesor yang mengajar di 3 negara. Amerika Serikat adalah negara pertama. Diawal kelas, profesor itu berkata,” ah, sedang hujan deras diluar”. Namun, mahasiswa disana langsung menyanggah. Ada yang mengatakan “hujan tersebut belum bisa dikatakan deras, sebab deras itu relatif”. Dan masih banyak lagi sanggahan lain yang membuat kelas itu menjadi hangat oleh perdebatan. Profesor itu pun terkagum-kagum. Negeri selanjutnya adalah  Jepang. Profesor itu kembali mengatakan kalimat yang sama. Kemudian, mahasiswa disana langsung berunding sebentar dan permisi kepada profesor itu untuk pergi ke laboratorium mengambil alat untuk mengukur curah hujannya. Profesor itupun kembali terkagum-kagum. Negeri terakhir adalah Indonesia. Profesor itu mengatakan lagi perkataan yang sama. Tetapi, dia heran melihat suasana kelas yang sangat berbeda dengan mahasiswa dua negeri sebelumnya. Ternyata mahasiswa Indonesia itu menulis di buku tulis masing-masing, “ah, sedang hujan deras diluar”. Alamak!
Kita mengadakan Pemira ( Pemilihan Raya) di Fakultas ini. Namun, kenyataan yang terjadi adalah banyak mahasiswa yang tidak mengerti itu untuk apa. Bahkan, kepanjangan dari PEMA sendiri pun banyak yang tidak tahu. Ini sebenarnya sudah memasuki stadium akut “mahasiswa mesin”. Dengan wajah tulus [atau mungkin bodoh?], mereka tak peduli ada atau tak adanya kegiatan-kegiatan semacam itu. Satu sisi, yang terjadi selama ini memang menyuburkan “mahasiswa mesin” tersebut. Tidak satu kegiatan yang berarti pun yang dilakukan untuk bisa memanusiakan mahasiswa. Yang dikritisi adalah apakah memang tidak sanggup memanusiakan mahasiswa, atau merupakan kesengajaan untuk membuat seperti itu. Kalau sampai itu adalah kesengajaan karena takut nanti apabila mahasiswa betul-betul dimanusiakan, akan mengganggu “stabilitas” iklim fakultas. Tetapi, camkanlah ini! Memesinkan manusia adalah dosa kejahatan besar. Membungkam nalar kritis mahasiswa adalah kejahatan yang luar biasa karena inilah pengaborsian harkat dan martabat manusia sebagai makhluk rasional. Ini adalah tugas para calon pemimpin berikutnya. Hentikan semua pembodohan yang ada. Kembalikanlah harkat dan martabat mahasiswa sebagai aktivis pemikir. Ingatlah, jika saudara-saudara berani untuk maju mencalon, berarti anda sudah siap untuk berhadapan nanti dengan birokrat-birokrat dan iklim mendung di fakultas. Jika tidak siap, hentikan sekarang juga pencalonan anda daripada anda hanya numpang nama nanti dan berbuat setengah-setengah.
Selagi itu, mari mempersiapkan diri kita untuk benar-benar menjadi mahasiswa yang tinggi iman, tinggi ilmu dan tinggi pengabdian. Memang, dengan beban yang diberikan oleh orangtua kita maka kita harus pintar-pintar (bijak) –tidak cukup hanya pintar- dalam menggunakan nalar kritis kita untuk membongkar hegemoni yang ada dan memandirikan pikiran kita. Badan kita memang menjalani sistem ini. Tapi, ingatlah keberadaan kita harus mampu berpikir diluar [mengkritisi] sistem. Jangan sampai sistem meracuni pikiran kita. Jadi, rajinlah membaca buku dan berdiskusi serta selalulah analisa setiap permasalahan dan situasi yang terjadi.   Selagi kita juga belum sebagai pembuat sistem pendidikan –walau itu seharusnya cita-cita luhur kita bersama- tetaplah kritisi sistem yang kita alami sekarang dengan sekreatif mungkin. Karena memang, bagaimana kita memperbaiki sistem yang salah jika kita tidak masuk kedalam sistem ini. Jadilah berbeda! Pikirkan mulai sekarang bagaimana seharusnya sistem yang bisa membuat pendidikan kembali pada hakikatnya lagi. Yaitu agenda penyadaran dan memanusiakan manusia, bukan memesinkan manusia. Dan berhentilah menulis “ ah, sedang hujan deras diluar”di buku tulis anda masing-masing.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar