Ketika Mahasiswa [mau] Dijadikan “Mesin”
Seorang
intelektual adalah seorang aktivis pemikir
bebas yang memiliki ketajaman nalar dan kepekaan dalam mencerna realitas di
sekelilingnya sekaligus membongkar berbagai bentuk manipulasi dan hegemoni.
Seorang visioner berjiwa progresif yang anti dengan segala bentuk kejumudan dan
kemapanan, independen dengan pikiran dan tindakannya, memiliki keyakinan bahwa
pengetahuan teoritis mesti dibarengi dengan tindakan ‘politis’, yang kemudian
membuat ia memiliki kehendak dan inisiatif untuk terlibat langsung dalam
agenda-agenda perubahan. Mahasiswa selalu dapat mengarahkan jiwa mudanya untuk
berbuat banyak dalam perubahan sosial sebab didukung oleh hal yang disebutkan
diatas.
Namun, hal
diatas adalah “ideal”-nya dari seorang yang dikatakan “mahasiswa”. Situasi
sekarang sudah berubah 180 derajat. Bukan lagi bisa disebut pemikir. Hanya
pegiat “fashion dan gadget”[ segan untuk
nginggris sebenarnya]. Tetapi, yang menjadi fokus tulisan ini sebenarnya
bukanlah untuk lebih dalam membahas itu. Ini lebih kepada situasi mahasiswa
sekarang yang nalar kritisnya dibungkam dikampus dan dipaksa untuk mengikuti sistem
serta mematuhi dosen tanpa protes apa-apa. Sebenarnya, hati nurani mahasiswa
sudah sangat terganggu dalam persoalan seperti ini. Namun, yang menjadi dilema adalah rata-rata mahasiswa
“takut” nanti nilainya dikebiri jika berani menentang hegemoni kampus. Juga,
mahasiswa-mahasiswi yang datang dari kampung dibebani tuntutan orangtua bahwa
harus cepat tamat, kerja, nikah dan seterusnya. Inilah sebenarnya tali pengikat
yang membuat berbagai ketakutan dalam diri seorang aktivis pemikir bebas yang
nalarnya tidak mau dibungkam serta tidak ingin dijadikan mesin. Sebenarnya,
pertanyaan mendasar adalah apa gunanya pendidikan? Apakah sebenarnya pendidikan
itu adalah “memesinkan” manusia, membuat
manusia patuh total pada guru atau dosen seolah-olah mereka dewa? Sejak
SD, kita sudah dibuat menjadi mesin sebenarnya. Kita diajari untuk menghafal,
bukan untuk memahami. Kita diajari hanya teori, sedangkan riset dan praktek
langsung sangat jarang. Sebenarnya, sangat ironis istilah mesin penghafal.
Namun, istilah itu sangat cocok. Masuk ke Perguruan Tinggi [baca: Fakultas Ekonomi USU] dengan berbagai
jalur. Terserah jalur manipulasi atau jalur bersih. Jalur diskriminasi atau
jalur uang. Masuk dengan berlatar belakang satu pemikiran yang diikat oleh
beban ingin kerja dan cepat tamat. Ingin mendapatkan gelar sebanyak mungkin,
tanpa memperdulikan apakah memang “isi” dari manusia itu sepanjang gelarnya.
Ketika sudah ada di kampus, lain lagi persoalan yang terjadi. Belajar ilmu
ekonomi dengan sangat patuh. Membeli buku “barat” dengan baik. Itupun kalau
disesuaikan dengan konteks Indonesia. Tetapi, nyatanya tidak. Isi buku itu
ditelan tanpa dicerna dengan baik. Inilah proses indoktrinasi yang mengerikan.
Bagi para mahasiswa yang nalarnya bahkan tidak berfungsi, membuat pemikirannya
kebarat-baratan dan selalu mengagung-agungkan bangsa barat padahal badannya
asli Indonesia, pikiran Indonesia , lidah Indonesia.
Selanjutnya,
kita memang belajar di Fakultas Ekonomi. Namun, kita membuat seolah-olah ilmu
ini hanyalah ilmu yang mengawang-awang. Kita pelajari tanpa kita langsung
praktekkan. Ilmu ekonomi adalah ilmu aplikatif. Tujuan kita mempelajarinya
adalah untuk kesejahteraan rakyat. Berbuat untuk rakyat bukan harus setelah
menjadi alumni. Justru, sekarang adalah saat yang sangat efektif. Sudah
seharusnya kita terjun ke pasar-pasar tradisional mengadakan advokasi,
mengangkat ekonomi masyarakat kecil, dan lain-lain. Intinya, keberpihakan kita
bukan pada pemilik modal [baca:kapitalis
buncit] tetapi kepada mereka yang tertindas akibat ketidakadilan yang
terjadi.
Sistem
pendidikan kita ini bukanlah memang untuk memanusiakan manusia. Walau, tujuan
sebenarnya dari pendidikan adalah itu. Nah, ini yang lebih mengerikan, “Universitas
untuk Industri”. Jika nalar kritis anda berjalan, anda pasti dapat menduga apa
makna motto itu. Yang pasti maknanya adalah judul dari tulisan ini. Namun, jika
nalar kritis anda macet total seperti kota Medan sekarang ini, ya apa mau
dikata. Nalar kritis yang macet total adalah seperti cerita ini: Ada seorang
profesor yang mengajar di 3 negara. Amerika Serikat adalah negara pertama.
Diawal kelas, profesor itu berkata,” ah, sedang hujan deras diluar”. Namun,
mahasiswa disana langsung menyanggah. Ada yang mengatakan “hujan tersebut belum
bisa dikatakan deras, sebab deras itu relatif”. Dan masih banyak lagi sanggahan
lain yang membuat kelas itu menjadi hangat oleh perdebatan. Profesor itu pun
terkagum-kagum. Negeri selanjutnya adalah
Jepang. Profesor itu kembali mengatakan kalimat yang sama. Kemudian,
mahasiswa disana langsung berunding sebentar dan permisi kepada profesor itu
untuk pergi ke laboratorium mengambil alat untuk mengukur curah hujannya. Profesor
itupun kembali terkagum-kagum. Negeri terakhir adalah Indonesia. Profesor itu
mengatakan lagi perkataan yang sama. Tetapi, dia heran melihat suasana kelas
yang sangat berbeda dengan mahasiswa dua negeri sebelumnya. Ternyata mahasiswa
Indonesia itu menulis di buku tulis masing-masing, “ah, sedang hujan deras
diluar”. Alamak!
Kita mengadakan
Pemira ( Pemilihan Raya) di Fakultas ini. Namun, kenyataan yang terjadi adalah
banyak mahasiswa yang tidak mengerti itu untuk apa. Bahkan, kepanjangan dari
PEMA sendiri pun banyak yang tidak tahu. Ini sebenarnya sudah memasuki stadium
akut “mahasiswa mesin”. Dengan wajah tulus [atau
mungkin bodoh?], mereka tak peduli ada atau tak adanya kegiatan-kegiatan
semacam itu. Satu sisi, yang terjadi selama ini memang menyuburkan “mahasiswa
mesin” tersebut. Tidak satu kegiatan yang berarti pun yang dilakukan untuk bisa
memanusiakan mahasiswa. Yang dikritisi adalah apakah memang tidak sanggup
memanusiakan mahasiswa, atau merupakan kesengajaan untuk membuat seperti itu.
Kalau sampai itu adalah kesengajaan karena takut nanti apabila mahasiswa betul-betul
dimanusiakan, akan mengganggu “stabilitas” iklim fakultas. Tetapi, camkanlah
ini! Memesinkan manusia adalah dosa kejahatan besar. Membungkam nalar kritis mahasiswa
adalah kejahatan yang luar biasa karena inilah pengaborsian harkat dan martabat
manusia sebagai makhluk rasional. Ini adalah tugas para calon pemimpin
berikutnya. Hentikan semua pembodohan yang ada. Kembalikanlah harkat dan
martabat mahasiswa sebagai aktivis pemikir. Ingatlah, jika saudara-saudara
berani untuk maju mencalon, berarti anda sudah siap untuk berhadapan nanti
dengan birokrat-birokrat dan iklim mendung di fakultas. Jika tidak siap,
hentikan sekarang juga pencalonan anda daripada anda hanya numpang nama nanti dan berbuat setengah-setengah.
Selagi itu,
mari mempersiapkan diri kita untuk benar-benar menjadi mahasiswa yang tinggi
iman, tinggi ilmu dan tinggi pengabdian. Memang, dengan beban yang diberikan
oleh orangtua kita maka kita harus pintar-pintar (bijak) –tidak cukup hanya pintar- dalam menggunakan nalar kritis kita untuk
membongkar hegemoni yang ada dan memandirikan pikiran kita. Badan kita memang
menjalani sistem ini. Tapi, ingatlah keberadaan kita harus mampu berpikir
diluar [mengkritisi] sistem. Jangan
sampai sistem meracuni pikiran kita. Jadi, rajinlah membaca buku dan berdiskusi
serta selalulah analisa setiap permasalahan dan situasi yang terjadi. Selagi kita juga belum sebagai pembuat sistem
pendidikan –walau itu seharusnya
cita-cita luhur kita bersama- tetaplah kritisi sistem yang kita alami
sekarang dengan sekreatif mungkin. Karena memang, bagaimana kita memperbaiki
sistem yang salah jika kita tidak masuk kedalam sistem ini. Jadilah berbeda!
Pikirkan mulai sekarang bagaimana seharusnya sistem yang bisa membuat
pendidikan kembali pada hakikatnya lagi. Yaitu agenda penyadaran dan
memanusiakan manusia, bukan memesinkan manusia. Dan berhentilah menulis “ ah,
sedang hujan deras diluar”di buku tulis anda masing-masing.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar