SECARIK KERTAS UNTUK PEMUDA…
Energi
untuk bekerja, waktu yang cukup dan idealisme yang kuat merupakan tiga potensi utama yang terdapat dalam diri pemuda.
Pertanyaan nya adalah sejauh mana energi yang potensial ini dibawa untuk sebisa
mungkin membangun bangsa ini atau sebaliknya jadi sebuah mata panah yang justru
menghancurkan bangsa ini sendiri. Hal itu tergantung pada diri setiap orang
dengan pertimbangan latar belakang, sejarah dan motivasi yang mendorong setiap insan
pemuda dalam mengambil setiap keputusan. Sumpah pemuda yang diikrarkan pertama
kali tanggal 28 Oktober 1928, sebagai sebuah bentuk semangat nasionalisme yang
tertanam kuat dalam jiwa pemuda ketika itu, sebenarnya tidak terlalu berat
untuk direfleksikan saat ini. Belajar berfikir sederhana dengan kepekaan yang
tinggi terhadap kondisi pemuda sekarang, akan membawa kita pada sebuah indikasi
pemahaman bahwa pemuda bangsa ini sebagian besar ternyata tidak lagi bangga
menjadi dirinya sendiri sebagai bangsa Indonesia.
Perubahan
pola gaya hidup, pola dwibahasa (Indonesia-
Inggris & Indonesia -Korea) yang menjamur secara nasional hampir
kedengaran tiap hari kerap dipertontonkan dan terimplementasi dalam hidup
sehari-hari sebagian besar pengikutnya yang menyatakan diri “kaum dinamis” bagaikan
sebuah penyakit lambat laun yang makin terendap lama dan semakin kronis di
dalam tubuh yang akut seakan sebuah tanda
bahwa nasionalisme kita sebagai pemuda sudah terabrasi, terkikis dan mengalami
degradasi dalam mempertahankan jati dirinya, kebanggaan dirinya sebagai bangsa
Indonesia.
Pemakaian dwibahasa
dinilai lebih bagus mungkin secuil dari semangat nasionalis yang semakin runtuh
dari semangat sumpah pemuda ke-tiga yang menjunjung tinggi bahasa persatuan,
bahasa Indonesia. Mungkin tidak muluk-muluk. Kebanyakan juga kita sebagai anak
muda yang ingin di cap up date dan
bukan kudet, bangga dengan brand
asing seperti pakaian, tas, dan aksessoris lain yang luar punya (produk asing),
dan dengan bangga mempertontonkan itu dalam keseharian kita. Lebih percaya diri
dengan kerah baju bertuliskan “nevada” daripada “ darbost” hasil produk industri
dalam negeri. Berbagai online shop
yang menawarkan produk luar juga bermunculan bak jamur dengan harga yang lebih
bersaing. Dan berjuta-juta warga negeri ini, menjadi objek pasar yang potensial
bagi bangsa asing dan dengan bangganya mempertontonkan kestagnanan otak melalui
kebanggaan karna dibalut produk impor.
Lantas, ekonomi bangsa ini pun semakin terpuruk dan ekonomi asing semakin
berkembang karena sadar atau tidak “ produk asing adalah ekonomi asing dan
produk Indonesia adalah ekonomi Indonesia” ( mengutip pendapat salah satu
penggagas cinta produk Indonesia di salah satu TV swasta). Jadi, sadar atau
tidak memang, hampir semua aspek bangsa ini, diambil alih oleh asing. Tidak cukup
sampai di aksesoris tubuh, mata kita juga tidak lagi berbinar melihat industri
perfilm- an dan musik tanah air.
Hampir
setiap memori laptop mahasiswa yang
bangga dengan cap “kaum intelek” terisi folder film dan games daripada folder
yang bersifat edukasi dengan peringkat pertama adalah film korea menyusul film
negara lain seperti Thailand dan Hollywood dan ditutup dengan film Indonesia di
peringkat terakhir. Lebih gaul rasanya menyanyikan lagu “Sarangae Aisitheru”
daripada lagu “Perjalanan ini” karya Ebiet G Ade. Mengisi jadwal kuliah yang
kosong berjam-jam dengan cerita film “pasta” dengan romantika percintaannya
yang menguras air mata daripada “ayat-ayat cinta” karya Anak Negeri Hanung
Brahmanto yang menitipkan sejumlah adat ‘ketimuran’ dan sejarah budaya bangsa
yang harus diwariskan. Bangga ‘nyeritain nongkrong di Starbuck dengan rupiah
yang disetor ke Amerika setelah jadi dolar daripada menceritakan enaknya kopi “
Tanpak dan kopi Ida” olahan bangsa yang dimana hasil penjualan mereka turut
menyumbang arus perputaran uang di Kabupaten yang berdampak terhadap bangkitnya
ekonomi daerah.
Akhirnya,
mulai dari ujung kaki sampai perawatan ujung rambut sadar atau tidak,
kebanyakan kita persembahkan bagi kemajuan bangsa asing dari setiap rupiah yang
didolarkan oleh kemasan shampo, sepatu, baju, dan berbagai produk asing yang
kita pakai. Lantas, dimanakah di hati kita letak karya anak bangsa ini? Yang
dengan lantangnya diikrarkan 85 tahun lalu bahwa kita mengaku satu bangsa dan
setanah air. Tidak salah kalau mereka akhirnya gulung tikar dan kita pun tetap
angkuh dalam keegoisan yang ‘tak sadar’. Teringat dengan seorang tokoh mantan
wakil presiden di negeri ini yang bangga menggunakan produk cibaduyut dalam
aktivitas kenegaraanya, Adakah kita mengenal sepatu Cibaduyut yang terjangkau
itu yang tak kalah kualitasnya dengan Versace dan Dolce
Gabbana dari Italia yang harganya selangit itu? Mengeluarkan ratusan ribu
(bahkan jutaan rupiah bagi kelas tertentu) tak jadi masalah dibandingkan dengan
menawar sepatu new era di pajak tradisional dengan mulut yang berbusa-busa
sampai menahan harga setengah mati. Miris sekali memang, dan inilah diri kita
yang kita ratapi dan anggap miris. Berharap, dengan peringatan sumpah pemuda
tahun ini, bangsa ini yang adalah kita, bisa kembali membangun harga dirinya
dari keputusan-keputusan kecil namun secara kolektif sangat berdampak bagi
bangsa ini.
HIDUP
PEMUDA!!!
UT OMNES UNUM SINT
Romedina
Banjarnahor
GMKI FE USU
GMKI FE USU
Tidak ada komentar:
Posting Komentar