Menuju Kampus Ekonomi Kerakyatan
Perasaan cukup bergejolak ketika
membaca Harian Jogja online edisi 13 Mei 2013, dimana Fakultas Ekonomi Universitas
Negeri Yogyakarta (FE-UNY) akan mengganti kurikulum pendidikan mereka ditahun
ajaran 2013/2014 dengan memfokuskan pada ekonomi kerakyatan. Pendidikan ekonomi di fakultas tersebut
mayoritas akan diisi materi mengenai usaha kecil dan menengah (UKM) dan
koperasi. Ya, akhirnya ada
kampus yang “tahu diri” dengan negeri sendiri.
Dan
cukup “iri” juga dengan Universitas Gadjah Mada yang sudah mendirikan Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM yang
lahir dengan nama Pusat Studi Ekonomi Pancasila, dibentuk pada tanggal 17
Oktober 2002 dengan keputusan Rektor UGM No.177/P/SK/HKTL/2002 dengan kepala
Prof.Dr. Mubyarto (Alm). Aih,aih,
saya jadi bertanya. Kami kapan ya tahu diri?
Dua
Universitas tersebut sudah sadar bahwa sekarang ini perkembangan ilmu dan
sistem ekonomi Indonesia semakin jauh dari cita-cita para pendiri bangsa. Khususnya,
Bung Karno dengan Ajaran Trisakti-nya dan Bung Hatta dengan Ekonomi
Kerakyatan-nya dimana memunculkan Pasal 33 UUD 1945 yaitu:
1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama
berdasar atas azas kekeluargaan.
2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara
dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara
3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung
di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat.
Kampus, yang seharusnya bisa menjadi tempat mahasiswa-mahasiswi
untuk mempelajari secara dalam Ajaran Trisakti Bung Karno dan Ekonomi
Kerakyatan Bung Hatta terkhusus melaksanakan amanat pasal 33 UUD 1945,
kebanyakan sudah berkiblat pada ekonomi kapitalisme yang jelas-jelas tidak
sesuai dengan kondisi sosial-budaya bangsa Indonesia. Sebagai contoh, pemakaian
textbook dalam buku perkuliahan
terutama dalam mata kuliah ekonomi makro dan mikro, materi ekonomi kerakyatan
dan kedaulatan ekonomi nasional yang tidak diperdalam, dan masih banyak lagi, menyebabkan
pemikiran kita menjadi kebarat-baratan yang menjadikan kita
memiliki mental berpikir asisten.
Kita bangga mengutip perkataan atau kalimat tokoh-tokoh barat menjadi perkataan
kita atau mengutipnya di skripsi atau tugas perkuliahan lainnya yang membuat
diri kita sendiri berpikir bahwa kita “keren”. Jangan salah kawan-kawanku!
Bukan “keren” tetapi “kere”(=miskin, dalam hal pemikiran). Itu sama sekali
membuat kita menjadi budak pemikiran mereka. Kita bisa memiliki mental mandiri
kawan-kawan! Harus berani! Justru kutipan itulah yang harus mendukung pemikiran
kita, bukan kita malah mengikut. Dan tidak kurang tokoh-tokoh di Indonesia ini
yang bisa kita gali pemikirannya, khususnya founding
fathers Indonesia. Tentunya, tokoh-tokoh yang bukan antek kapitalis.
Sistem ekonomi kerakyatan adalah sistem
ekonomi nasional yang berasas kekeluargaan, berkedaulatan rakyat, bermoral
Pancasila, dan menunjukkan kesungguhan membela ekonomi rakyat. Harus
diperhatikan kawan-kawan! Berasas kekeluargaan, bukan individualisme.
Berkedaulatan rakyat, bukan berkedaulatan pemilik modal. Bermoral Pancasila,
bukan bermoral kapitalis. Menunjukkan kesungguhan membela ekonomi rakyat, bukan
mempersubur kapitalisme dan membuat “buncit” antek-anteknya.
Menurut pasal 33 UUD 1945 diatas bahwa
ekonomi kerakyatan adalah sistem ekonomi yang demokratis, sistem ekonomi
kerakyatan termuat lengkap dalam penjelasan pasal 33 UUD 1945 yang berbunyi :
“Produksi dikerjakan semua untuk semua dibawah pemimpin atau anggota-anggota masyarakat.
Kemakmuran masyarakatlah yang paling diutamakan bukanlah kemakmuran orang
perseorangan. Karena itu perekonomian disusun sebagai usaha bersama yang
berasaskan atas keluarga. Dan bangunan perusahaan yang sesuai dengan itu ialah
koperasi”.
Penjelasan singkat dua paragraf diatas
memunculkan pertanyaan dua hal teknis:
-
Apakah
kita sudah memiliki dan melaksanakan kurikulum ekonomi kerakyatan serta
memperdalam ajaran Bung Karno? Jika belum, kapankah?
-
Apakah
kita sudah memiliki Koperasi Mahasiswa yang tidak hanya sebagai tempat
pengembangan kewirausahaan dan penerapan ekonomi kerakyatan, tetapi lebih pada
gerakan untuk memberantas kapitalisme dan efek-efeknya termasuk hedonisme,
materialisme dan snobisme di kampus?
Jika belum, kapankah?
Kalau belum,bukankah kita benar-benar
malu dan muka tertampar bahwa sebuah Fakultas Ekonomi tidak memiliki Koperasi
Mahasiswa ?
Jika belum, tidak berlebihan jika kita
adalah “sesuatu” yang keras kepala dan buta terhadap kenyataan kapitalisme seterusnya adalah kenyataan neoliberalisme,
dan paling keji kenyataan imperialisme di negeri ini. Karl Marx mengungkapkan
bahwa kapitalisme adalah reinkarnasi sempurna dari kolonialisme dan
imperialisme. Mari kita analisa sendiri perkataan Karl Marx tersebut, benar
atau tidak. Karena kita “kata orang” kaum intelektual. Itu kata orang. Gak tahu masih betul atau tidak.
Ayolah
kawan-kawanku! Kita haruslah “tahu diri”. Mengapa kita tidak menggabungkan ide
dari 2 kampus diatas yakni mengembangkan Pusat Kajian dan Aksi Ekonomi
Kerakyatan ( PUSKASIEKRA ) dan Koperasi Mahasiswa? Mari mewujudkan cita-cita
ekonomi para founding fathers negara
ini dengan membuat kampus kita sebagai tempat kajian dan titik pergerakan
Ajaran Trisakti dan Ekonomi Kerakyatan. Ayo hilangkan mental berpikir asisten, gali-kembangkan-terapkan
pemikiran mereka-para pendiri bangsa ini-, perangi segala bentuk
kapitalisme-neoliberalisme-imperialisme dan bergerak menuju kedaulatan ekonomi
nasional yang adil dan sejahtera. Ayo!
Oleh: Hardo Firmana Given Grace Manik
utk koperasi, usu bahkan sumut sendiri memang jauh tertinggal dengan kawan-kawan di kampus jawa, Kopma disana bukan sekedar ukm lagi tetapi sudah menjadi sebuah gerakan bahkan pergerakan yang memiliki jaringan yang mengakar sejak lama, namun tidak ada kata terlambat untuk melakukan perubahan.
BalasHapus#bravokopma!
bravo juga. saatnya berbuat
Hapus