Pidato J. Leimena

"Tindakan ini adalah suatu tindakan historis bagi dunia mahasiswa umumnya dan masyarakat Kristen pada khususnya. GMKI menjadilah pelopor dari semua kebaktian yang akan dan mungkin harus dilakukan di Indonesia. GMKI menjadilah suatu pusat sekolah latihan (leershool) dari orang-orang yang mau bertanggungjawab atas segala sesuatu yang mengenai kepentingan dan kebaikan negara dan bangsa Indonesia. GMKI bukanlah merupakan Gesellschaft, melainkan ia adalah suatu Gemeinschaft, persekutuan dalam Kristus Tuhannya. Dengan demikian ia berakar baik dalam gereja, maupun dalam Nusa dan Bangsa Indonesia. Sebagai bagian dari iman dan roh, ia berdiri di tengah dua proklamasi: Proklamasi Kemerdekaan Nasional dan Proklamasi Tuhan Yesus Kristus dengan Injilnya, ialah Injil Kehidupan, Kematian dan Kebangkitan"

GMKI Komisariat FEB USU

GMKI Komisariat FEB USU
Keluarga besar GMKI Komisariat FEB USU

Senin, 24 Februari 2014

Menata Demokrasi Kasih

Menata Demokrasi Kasih
Kenyataan ideal dari suatu bagian kehidupan dalam sistem adalah rumusan dari setiap teori yang diungkapkan oleh setiap orang. Kenyataan ideal tersebut biasanya dimunculkan dengan kata-kata;”seperti seharusnya”. Setiap manusia yang mengerti akan kebenaran pasti menginginkan suatu situasi berkehidupan yang sesuai dengan kebenaran universal. Oleh karena itu, banyak muncul pemikir-pemikir, filsuf, akademisi, dan lain-lain yang banyak menggambarkan bagaimana dunia ini seharusnya termasuk sistem didalamnya. Namun, harus disadari setiap teori apapun, seideal apapun suatu sistem dalam pandangan manusia, dalam kenyataannya pasti tidak akan bisa dilaksanakan secara ideal. Mengapa? Karena natur manusia adalah berdosa. Baik sebaik atau sesuci apapun pemuka agama yang kita lihat secara nyata oleh mata telanjang, dia tetaplah berdosa. Setiap natur berdosa cenderung selalu mengandalkan kedagingan dalam melaksanakan apapun bagian-bagian yang ada dalam kehidupan ini, termasuk melaksanakan teori yang dibuat. Kedagingan adalah natur berdosa manusia yang memunculkan sifat-sifat “binatang” manusia yang bisa bahkan merusak keseimbangan sistem yang muncul dari teori ideal yang dirumuskan oleh manusia itu sendiri. Sehingga, komitmen meninggalkan kedagingan betul-betul harus dimiliki oleh setiap manusia walau tidak akan sempurna dimata Sang Pencipta. Karena kita yakini, dari agama apapun kita, Sang Pencipta menginginkan kesempurnaan. Untuk secara maksimal dalam melaksanakan teori atau memunculkan sistem yang ideal, diperlukan suatu filosofi mendasar dari suatu sistem yang bisa menjadi antitesa terhadap kedagingan atau natur berdosa manusia. Semoga, pemahaman awal ini akan mencerahkan pikiran dan hati kita untuk membahas suatu sistem atau teori ideal yang diciptakan manusia yaitu demokrasi namun ditambahkan dengan filosofi dasar yaitu filosofi kasih.
Demokrasi, yang awalnya dilaksanakan di Yunani pada abad ke 5 SM, dilakukan secara langsung dimana rakyat dikumpulkan secara langsung, bermusyawarah dan menghasilkan keputusan untuk kebijakan pemerintahan. Hal itu memungkinkan memang karena jumlah rakyat di setiap polis di Athena pada saat itu masih sedikit. Beda dengan Indonesia yang sekarang berjumlah 230 juta orang, yang memang harus melaksanakan sistem perwakilan. Sejalan dengan itu, Presiden AS ke-16 Abraham Lincoln mengatakan bahwa demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat yang saya kemudian sebut Lingkaran Rakyat. Siapakah rakyat itu? Rakyat adalah kumpulan manusia yang memiliki hati dan pikiran dan  mengetahui kebenaran universal jika menggunakan hati nurani. Harus dipahami, bahwa manusia itu bukanlah mesin, budak atau kasta rendah lainnya. Setiap manusia mempunyai harkat dan martabat serta sangat berharga bagi Sang Pencipta. Bagaimana mungkin, kita manusia yang hina ini “bisa-bisaan” menganggap manusia lain lebih rendah dari kita padahal Pencipta sangat menghargai kita. Untuk itulah, dalam sistem demokrasi, rakyat seharusnya adalah yang pertama dan terutama. Di Indonesia, dengan rakyat begitu banyak, memang harus diperlukan suara dari mayoritas. Dan harus dipahami, mayoritas bukan dalam hal agama, atau isu sara lainnya. Sama sekali tidak. Namun mayoritas dari suara rakyat.
Hukum menempati peran yang krusial dalam sistem demokrasi. Perlakuan yang sama didepan hukum adalah hal  yang harus dilaksanakan oleh setiap penegaknya. Namun, secara kajian filosofis dapat dipertanyakan ; Mengapa hukum harus ada? Sekali lagi, alasannya adalah karena manusia adalah insan berdosa. Setiap apapun yang dilakukan oleh manusia cenderung mengarah pada tindakan yang salah terutama dalam sistem demokrasi yang bernilaikan kebebasan yang “seharusnya” bertanggung jawab. Untuk itu, diperlukan aturan-aturan yang bisa mengikat rakyat dalam sistem demokrasi. Aturan-aturan ini seharusnya muncul dari hati nurani manusia yang mengetahui kebenaran universal. Hubungan pribadi dengan Tuhan yang intim seharusnya bisa membuat hati nurani manusia diliputi damai sejahtera supaya aturan-aturan atau hukum yang dibuat betul-betul berdasarkan pada kebenaran yang hakiki.
Demokrasi berbicara tentang kebebasan dan kesetaraan. Manusia mempunyai kehendak bebas untuk melakukan apa yang ingin ia lakukan. Kehendak bebas manusia tentunya muncul dari pemahamannya tentang sesuatu dalam lingkungan yang ingin dia berikan respon. Pemahaman yang diterangi oleh kebenaran universal dan ajaran-ajaran kebaikan tentu akan membawa manusia kepada kehendak bebas yang terkontrol dan bersimbiosis secara mutualisme dengan manusia lainnya. Tetapi, saya ingin mengatakan bahwa sebebas-bebasnya manusia, ia tetaplah insan yang harus diatur. Karena, setiap manusia dengan kebebasan yang dimilikinya, berpotensi melakukan hal-hal yang merusak keseimbangan sistem dan mengacaukan hubungan pribadi dengan sesamanya. Aturan inilah yang kita kenal dengan hukum, dengan berbagai jenisnya. Hukum dunia ini memang mengatur berbagai segi hidup manusia dalam mencegah munculnya naluri berbuat salah. Namun, yang membuat hukum tetaplah manusia. Pasti mempunyai kelemahan. Kesetaraan adalah hal krusial selanjutnya yang harus diperhatikan sebagai penjabaran dari kebebasan. Sejarah dan kenyataan hari ini banyak membuktikan bahwa masih banyak manusia yang menganggap bahwa manusia lainnya lebih rendah dari dia dalam hal kedudukan, status, pangkat, dan hal-hal pembeda lainnya. Namun, satu hal yang harus dipahami adalah manusia itu penuh misteri dan didunia ini tidak ada yang abadi. Apakah yang dicari ketika anda dan saya  menganggap rendah insan lainnya dari segi tertentu? Apakah kedudukan, status, pangkat, kekayaan, dan lainnya benar-benar membuat manusia hina–dina ini angkuh diri? Ingat, kita bukan siapa-siapa dihadapanNya. Hal ini pulalah yang menjadi perusak sistem demokrasi dikalangan orang barat. Mereka menganggap diri lebih superior dalam hal kepintaran. Filosofi yang dianut adalah ketika menggangap diri superior, maka itulah saatnya menganggap manusia lain lebih rendah dari dirinya. Ini akibat filosofi persaingan yang begitu mengakar sehingga hukum rimbalah yang subur. Ketika itu terjadi, maka yang kemudian muncul adalah penindasan dan kekejaman yang banyak terjadi dalam realita sekarang ini. Untuk apakah menganggap rendah insan lainnya padahal manusia itu penuh misteri? Jika memang ingin membandingkan diri dan bisa menganggap diri lebih superior, apakah kedudukan, status, pangkat, kepintaran cukup dijadikan sebagai tolak ukur? Kemisteriusan manusia sungguh kompleks. Jika hanya tolak ukur diatas yang dipakai, sungguhlah itu terlalu picik dan sempit. Celakanya, filosofi diatas mengakar juga dikalangan manusia-manusia Indonesia  saat ini. Wajar memang, kita bangsa buta yang hanya bisa mengadopsi. Termasuk meniru hal-hal yang benar-benar berlawanan dengan kebenaran dari bangsa barat. Jika kita setara dihadapanNya, bagaimana mungkin kita yang bukan siapa-siapa dihadapan Sang Pencipta menganggap manusia lain lebih rendah?
Selanjutnya, Hegel dalam filsafat politiknya membahas bahwa ketika setiap orang mampu menentukan dan mengatur dirinya-sendiri maka apa yang dipikirkannya seringkali tidak sesuai dengan kenyataan yang ada di lingkungan. Untuk itulah, ia bernegosiasi dengan lingkungan dan orang disekitarnya. Sehingga yang terjadi adalah demokrasi deliberatif, dimana setiap kebijakan dibangun atas dasar diskusi yang rasional antara semua pihak yang berkepentingan dengan kebijakan tersebut. Disinilah sebenarnya, naluri manusia sebagai makhluk sosial muncul. Saya ingin mengatakan bahwa, naluri sosial manusialah yang seharusnya lebih tinggi dari naluri individualnya. Sebab, hidup ini bukan tentang diri sendiri, tetapi tentang Sang Pencipta dan sesama. Ketika membuat kebijakan publik dalam diskusi-diskusi yang rasional, sudah seharusnya berdasar pada rasa persamaan dan persaudaraan yang kuat. Pengaruh kapitalisme yang melahirkan individualisme melahirkan kebijakan-kebijakan yang tidak memihak kepada rakyat dewasa ini. Naruli individualis yang tinggi dan berakar telah membuat sendi-sendi sistem demokrasi goyah. Seolah manusia berpikir bahwa ia mampu mengerjakan semuanya sendiri dalam keterbatasannya dan tidak peduli terhadap sesamanya. Ternyata salah. Ketika rakyat bersama pemerintah memiliki rasa kebangsaan dan persaudaraan yang tinggi dalam membuat kebijakan publik, maka naluri sosial bekerja dengan baik karena semua saling memahami dan mengetahui kodrat masing-masing sebagai manusia.
Filosofi uang juga menjadi sorotan yang urgen dalam sistem demokrasi sekarang ini. Ditengah-tengah kebebasan yang diakomodir dalam sistem demokrasi, banyak terjadi kasus-kasus korupsi, suap, dan tindakan kriminal luar biasa lainnya. Saya menyebutnya “kebebasan yang kebablasan”. Betapa tidak, akhir-akhir ini banyak pejabat tertangkap karena melakukan suap dan korupsi. Tidak mengherankan peringkat negara ini adalah teratas dalam hal korupsi dengan perbandingan indeks pembangunan manusia yang jauh tertinggal dengan negara-negara lain.
Ada sebuah kisah tentang seorang anak kecil yang membutuhkan uang Rp. 300.000 untuk membeli sepeda baru. Ia sudah berhari-hari berdoa, tetapi belum ada jawaban. Akhirnya, dia memutuskan untuk menulis surat permintaan dan mengirimkannya kepada Tuhan. Pada sampul surat dia menuliskan "Kepada Yth. TUHAN di sorga." Tentu saja alamat ini membingungkan Pak Pos. Akhirnya, Pak Pos memutuskan untuk meneruskan surat itu kepada Presiden. Saat membaca surat itu, Presiden merasa terharu. Dia lalu memerintahkan stafnya untuk memenuhi permintaan itu. Tetapi staf Presiden memutuskan hanya akan memberi uang Rp. 100.000, mereka menilai bahwa uang sejumlah itu sudah cukup banyak untuk ukuran anak kecil.
Seminggu kemudian, Presiden kembali menerima surat dari anak itu yang juga di tujukan kepada TUHAN di sorga. Surat itu berbunyi, "Terima kasih Tuhan karena sudah mengabulkan doaku. Tetapi, lain kali kalau mengirimkan uang, jangan lewat pemerintah, ya. Seperti biasa, mereka mengkorupsi uang. Saya yakin bahwa engkau mengirim uang Rp. 300.000, tetapi saya hanya menerima Rp. 100.000.”
Sungguh sebuah kisah fiktif yang menampar siapapun yang menjadi budak korupsi dimana terjadi kehilangan kepercayaan.
 Akar dari segala kejahatan adalah cinta akan uang. Akibat cinta akan uanglah maka sistem demokrasi gagal membawa Indonesia ke kehidupan yang lebih adil dan makmur. Semua diukur dengan uang. Sadarlah hai para dan calon koruptor, uang tidaklah penjamin kehidupan kita tentram dan bahagia. Akhirat menanti kita. Semua perbuatan akan dipertanggungjawabkan dihadapan Sang Pencipta.
Selanjutnya, demokrasi ekonomi Indonesia sebagaimana yang diamanatkan oleh pasal 33 UUD 1945 seharusnya menjadi tuntunan untuk menata perekonomian nasional yang mandiri dan bebas dari kepentingan asing.  Ayat 3 berbunyi: Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pasal ini sudah begitu jelas menjelaskan bahwa seluruh kekayaan alam yang berada di perut bumi, di berbagai bukit dan gunung-gunung, diatas tanah yang berupa hutan dan didalam air yang berupa hasil-hasil sungai, danau dan lautan di seluruh wilayah Indonesia raya harus diperuntukan dan digunakan untuk sebesar-besarnya kepentingan rakyat. Namun segelintir kenyataan yang tengah terjadi menyiratkan hal itu. :
•4% penduduk menguasai 75% kekuatan ekonomi nasional.
•10% konglomerat memiliki aset 1/3 dari Gross Domestic Product.
• Kontrak kerja dengan perusahaan pertambangan asing memiliki beberapa keistimewaan, yaitu pajak penghasilan menjadi 30 % saja (merosot 5% dari sebelumnya), selain itu perusahaan asing boleh memiliki 100% saham dalam pengelolaan tambang.
• Para pemegang HPH (Hak Pengelolaan Hutan) yang jumlahnya tidak lebih dari 10 orang menguasai lebih dari separo hutan tropis kita. Mereka menggenggam izin untuk mengeksploitasi ribuan/jutaan hektar hutan yang dapat menjamin kemewahan untuk 27 turunan.
Kenyataan-kenyataan yang sedikit tersebut sudah sangat menyimpang dari roh dan jiwa demokrasi ekonomi yang dikehendaki UUD 1945. Kemakmuran keluarga dan sahabat lah yang diutamakan. Kedaulatan politik dan ekonomi telah disubordinasikan dibawah kedaulatan uang.
Yang terjadi seharusnya adalah Perekonomian Lingkaran Rakyat-dari rakyat, untuk rakyat dan oleh rakyat, bukan perekonomian yang hanya dikendalikan oleh segelintir kapitalis “buncit” dan bermuka dua. Salah satu contoh dikendalikannya perekonomian Indonesia adalah dalam hal Konperensi WTO yang berlangsung  di Bali. Negara-negara lain seperti India berjuang mempertahankan kepentingan nasionalnya untuk tetap meningkatkan subsidi pertanian bagi rakyatnya. Bagaimana dengan Indonesia? Indonesia seperti robot yang dikendalikan oleh negara-negara maju untuk menghilangkan subsidi pertanian sehingga negara-negara maju dengan perusahaan multinasionalnya bisa memasuki secara bebas sektor pertanian Indonesia dan mengendalikannya. Apakah kenyataan ini masih cocok disebut sistem demokrasi yang katanya bahwa rakyat yang terutama? Sehingga  kutipan berikut dalam pidato Bung Karno yang berjudul Tahun Berdikari (Takari) terasa sulit untuk diwujud-nyatakan.
Kita harus bersandar pada dana dan tenaga yang memang sudah di tangan kita dan menggunakannya semaksimal-maksimalnya. Pepatah lama “ayam mati dalam lumbung” harus kita akhiri, sekali dan buat selama-lamanya. Kita memiliki segala syarat yang diperlukan untuk memecahkan masalah sandang-pangan kita. Barangsiapa merintangi pemecahan masalah ini, dia harus dihadapkan ke depan Mahkamah Rakyat dan sejarah. Alam kita kaya-raya, rakyat kita rajin, tetapi selama ini hasil keringatnya dimakan oleh tuan-tuan-tanah, tengkulak-tengkulak, lintah-lintah darat, tukang-tukang ijon dan setan-setan desa lainnya.
Alam kita kaya raya namun yang terjadi ayam mati dilumbung. Rakyat kecil menderita. Tuan-tuan tanah, tengkulak-tengkulak tingkat atas, lintah-lintah darat, dan setan-setan pemilik modal telah menjajah rakyat Indonesia. Indonesia tanah airku, tetapi tanah digusur dan air dibeli. Ironis sekali.
Terapkan Demokrasi Kasih!
Demokrasi Kasih? Sungguh istilah yang menggelitik namun membawa makna yang dalam jika ditelisik. Demokrasi Kasih bisa menjadi antitesa untuk menekan naluri keberdosaan manusia dalam melaksanakan sistem yang dibuatnya didunia ini. Apa dan bagaimanakah kasih?
Kasih itu mempunyai aspek mengekang diri. Mengekang diri berarti menahan dan mengurangi semua naluri keberdosaan kita dalam melakukan sistem demokrasi. Kasih itu sabar, tidak cemburu, tidak memegahkan diri, tidak sombong, tidak melakukan yang tidak sopan atau tidak kasar, tidak mencari keuntungan diri sendiri, tidak pemarah, tidak bersukacita karena ketidakadilan tetapi karena kebenaran, tidak menyimpan kesalahan orang lain, sabar menanggung segala sesuatu. Kasih pada intinya mempunyai kerelaan untuk melepaskan hak untuk marah, hak untuk kenikmatan, hak untuk diakui, hak untuk membalas.
Pertanyaan selanjutnya, siapakah yang harus kita kasihi? Yang pertama dan terutama adalah Pencipta kita, kemudian sesama manusia dan terakhir diri sendiri. Khususnya mengasihi diri sendiri, bukan berarti mementingkan diri sendiri yang mana diajarkan oleh sistem kapitalisme dewasa ini, tetapi lebih kepada penerimaan diri. Karena masih banyak orang tidak bisa menerima dirinya sendiri dari segi fisik, kemampuan, dan lain sebagainya.
Harus kita ingat, sekalipun kita merasa diri kita mempunyai kemampuan yang lebih jika kita tidak mempunyai kasih, kita sama saja  dengan hewan. Tanpa kasih, kehidupan berdemokrasi yang mengakui persamaan dan kebebasan tak ubahnya seperti  kehidupan rimba yang bahkan hukum pun dibuat untuk dilanggar.
Mengapa harus demokrasi kasih? Karena bukan monarki kasih, dimana tidak cukup hanya satu orang yang memiliki kasih. Bukan oligarki kasih, karena tidak cukup hanya beberapa orang yang memiliki kasih. Bukan aristokrasi kasih, karena masih tidak cukup hany orang-orang terbaik dinegeri ini yang memiliki kasih. Bukan juga plutokrasi kasih, karena ganjil rasanya jika hanya sekelompok orang kaya yang memiliki kasih. Namun, yang benar-benar dibutuhkan sebagai antitesa sistem kebebasan yang kebablasan ini adalah Demokrasi Kasih, dimana seluruh rakyat memiliki dan menunjukkan kasih atau menjadi pelaku kasih dan menujukannya pada semua orang tanpa terkecuali.
Kemerdekaan atau kebebasan yang sesungguhnya bukanlah kebebasan dengan membiarkan naluri kedagingan kita bertambah liar. Namun, kebebasan untuk mengekangnya. Merdeka atau bebas bukan berarti berbuat semua yang kita anggap baik tanpa memperhatikan orang lain dan juga sesuatu yang kita anggap baik belum tentu baik bagi orang lain. Karena kebaikan didunia ini relatif. Hanya satu kebaikan yang mutlak, yaitu kebaikan Sang Pencipta. Mari kita coba memaknai ulang bahwa kebebasan dalam sistem demokrasi adalah kebebasan untuk menyatakan kasih kita bagi semua orang. Apapun yang kita pikirkan, ucapkan dan lakukan dalam sistem demokrasi ini, semua berdasar atas kasih yang tulus sebagai saudara. Ketikapun konflik terjadi, kita harus memberikan segudang pengampunan sebagai wujud kasih kita.  
Di samping itu juga manusia memiliki martabat sebagai seorang pekerja (pelayan) bagi sesamanya yang memungkinkan kehidupan bersama menjadi nyata . Pelayan yang tentunya bukan dalam artian budak. Kasih dapat dinyatakan bila setiap orang memberikan dirinya bagi pelayanan dalam masyarakat. Selamat ber-demokrasi kasih!
oleh: Hardo F.G.G Manik

Tidak ada komentar:

Posting Komentar