Menata Demokrasi Kasih
Kenyataan ideal dari suatu bagian kehidupan dalam sistem
adalah rumusan dari setiap teori yang diungkapkan oleh setiap orang. Kenyataan
ideal tersebut biasanya dimunculkan dengan kata-kata;”seperti seharusnya”.
Setiap manusia yang mengerti akan kebenaran pasti menginginkan suatu situasi
berkehidupan yang sesuai dengan kebenaran universal. Oleh karena itu, banyak
muncul pemikir-pemikir, filsuf, akademisi, dan lain-lain yang banyak
menggambarkan bagaimana dunia ini seharusnya termasuk sistem didalamnya. Namun,
harus disadari setiap teori apapun, seideal apapun suatu sistem dalam pandangan
manusia, dalam kenyataannya pasti tidak akan bisa dilaksanakan secara ideal.
Mengapa? Karena natur manusia adalah berdosa. Baik sebaik atau sesuci apapun
pemuka agama yang kita lihat secara nyata oleh mata telanjang, dia tetaplah
berdosa. Setiap natur berdosa cenderung selalu mengandalkan kedagingan dalam
melaksanakan apapun bagian-bagian yang ada dalam kehidupan ini, termasuk
melaksanakan teori yang dibuat. Kedagingan adalah natur berdosa manusia yang
memunculkan sifat-sifat “binatang” manusia yang bisa bahkan merusak
keseimbangan sistem yang muncul dari teori ideal yang dirumuskan oleh manusia
itu sendiri. Sehingga, komitmen meninggalkan kedagingan betul-betul harus
dimiliki oleh setiap manusia walau tidak akan sempurna dimata Sang Pencipta.
Karena kita yakini, dari agama apapun kita, Sang Pencipta menginginkan
kesempurnaan. Untuk secara maksimal dalam melaksanakan teori atau memunculkan
sistem yang ideal, diperlukan suatu filosofi mendasar dari suatu sistem yang
bisa menjadi antitesa terhadap kedagingan atau natur berdosa manusia. Semoga,
pemahaman awal ini akan mencerahkan pikiran dan hati kita untuk membahas suatu
sistem atau teori ideal yang diciptakan manusia yaitu demokrasi namun
ditambahkan dengan filosofi dasar yaitu filosofi kasih.
Demokrasi, yang awalnya dilaksanakan di Yunani pada abad ke 5
SM, dilakukan secara langsung dimana rakyat dikumpulkan secara langsung,
bermusyawarah dan menghasilkan keputusan untuk kebijakan pemerintahan. Hal itu
memungkinkan memang karena jumlah rakyat di setiap polis di Athena pada saat
itu masih sedikit. Beda dengan Indonesia yang sekarang berjumlah 230 juta
orang, yang memang harus melaksanakan sistem perwakilan. Sejalan dengan itu,
Presiden AS ke-16 Abraham Lincoln mengatakan bahwa demokrasi adalah
pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat yang saya kemudian
sebut Lingkaran Rakyat. Siapakah rakyat itu? Rakyat adalah kumpulan manusia
yang memiliki hati dan pikiran dan
mengetahui kebenaran universal jika menggunakan hati nurani. Harus
dipahami, bahwa manusia itu bukanlah mesin, budak atau kasta rendah lainnya.
Setiap manusia mempunyai harkat dan martabat serta sangat berharga bagi Sang
Pencipta. Bagaimana mungkin, kita manusia yang hina ini “bisa-bisaan”
menganggap manusia lain lebih rendah dari kita padahal Pencipta sangat
menghargai kita. Untuk itulah, dalam sistem demokrasi, rakyat seharusnya adalah
yang pertama dan terutama. Di Indonesia, dengan rakyat begitu banyak, memang
harus diperlukan suara dari mayoritas. Dan harus dipahami, mayoritas bukan
dalam hal agama, atau isu sara lainnya. Sama sekali tidak. Namun mayoritas dari
suara rakyat.
Hukum menempati peran yang krusial dalam sistem demokrasi.
Perlakuan yang sama didepan hukum adalah hal
yang harus dilaksanakan oleh setiap penegaknya. Namun, secara kajian
filosofis dapat dipertanyakan ; Mengapa hukum harus ada? Sekali lagi, alasannya
adalah karena manusia adalah insan berdosa. Setiap apapun yang dilakukan oleh
manusia cenderung mengarah pada tindakan yang salah terutama dalam sistem
demokrasi yang bernilaikan kebebasan yang “seharusnya” bertanggung jawab. Untuk
itu, diperlukan aturan-aturan yang bisa mengikat rakyat dalam sistem demokrasi.
Aturan-aturan ini seharusnya muncul dari hati nurani manusia yang mengetahui
kebenaran universal. Hubungan pribadi dengan Tuhan yang intim seharusnya bisa
membuat hati nurani manusia diliputi damai sejahtera supaya aturan-aturan atau
hukum yang dibuat betul-betul berdasarkan pada kebenaran yang hakiki.
Demokrasi berbicara tentang kebebasan dan kesetaraan. Manusia
mempunyai kehendak bebas untuk melakukan apa yang ingin ia lakukan. Kehendak
bebas manusia tentunya muncul dari pemahamannya tentang sesuatu dalam
lingkungan yang ingin dia berikan respon. Pemahaman yang diterangi oleh
kebenaran universal dan ajaran-ajaran kebaikan tentu akan membawa manusia
kepada kehendak bebas yang terkontrol dan bersimbiosis secara mutualisme dengan
manusia lainnya. Tetapi, saya ingin mengatakan bahwa sebebas-bebasnya manusia,
ia tetaplah insan yang harus diatur. Karena, setiap manusia dengan kebebasan
yang dimilikinya, berpotensi melakukan hal-hal yang merusak keseimbangan sistem
dan mengacaukan hubungan pribadi dengan sesamanya. Aturan inilah yang kita
kenal dengan hukum, dengan berbagai jenisnya. Hukum dunia ini memang mengatur
berbagai segi hidup manusia dalam mencegah munculnya naluri berbuat salah.
Namun, yang membuat hukum tetaplah manusia. Pasti mempunyai kelemahan.
Kesetaraan adalah hal krusial selanjutnya yang harus diperhatikan sebagai
penjabaran dari kebebasan. Sejarah dan kenyataan hari ini banyak membuktikan
bahwa masih banyak manusia yang menganggap bahwa manusia lainnya lebih rendah
dari dia dalam hal kedudukan, status, pangkat, dan hal-hal pembeda lainnya.
Namun, satu hal yang harus dipahami adalah manusia itu penuh misteri dan
didunia ini tidak ada yang abadi. Apakah yang dicari ketika anda dan saya menganggap rendah insan lainnya dari segi
tertentu? Apakah kedudukan, status, pangkat, kekayaan, dan lainnya benar-benar
membuat manusia hina–dina ini angkuh diri? Ingat, kita bukan siapa-siapa
dihadapanNya. Hal ini pulalah yang menjadi perusak sistem demokrasi dikalangan
orang barat. Mereka menganggap diri lebih superior dalam hal kepintaran.
Filosofi yang dianut adalah ketika menggangap diri superior, maka itulah
saatnya menganggap manusia lain lebih rendah dari dirinya. Ini akibat filosofi
persaingan yang begitu mengakar sehingga hukum rimbalah yang subur. Ketika itu
terjadi, maka yang kemudian muncul adalah penindasan dan kekejaman yang banyak
terjadi dalam realita sekarang ini. Untuk apakah menganggap rendah insan
lainnya padahal manusia itu penuh misteri? Jika memang ingin membandingkan diri
dan bisa menganggap diri lebih superior, apakah kedudukan, status, pangkat,
kepintaran cukup dijadikan sebagai tolak ukur? Kemisteriusan manusia sungguh
kompleks. Jika hanya tolak ukur diatas yang dipakai, sungguhlah itu terlalu
picik dan sempit. Celakanya, filosofi diatas mengakar juga dikalangan manusia-manusia
Indonesia saat ini. Wajar memang, kita
bangsa buta yang hanya bisa mengadopsi. Termasuk meniru hal-hal yang
benar-benar berlawanan dengan kebenaran dari bangsa barat. Jika kita setara
dihadapanNya, bagaimana mungkin kita yang bukan siapa-siapa dihadapan Sang
Pencipta menganggap manusia lain lebih rendah?
Selanjutnya, Hegel dalam filsafat politiknya membahas bahwa
ketika setiap orang mampu menentukan dan mengatur dirinya-sendiri maka apa yang
dipikirkannya seringkali tidak sesuai dengan kenyataan yang ada di lingkungan.
Untuk itulah, ia bernegosiasi dengan lingkungan dan orang disekitarnya.
Sehingga yang terjadi adalah demokrasi deliberatif, dimana setiap kebijakan dibangun
atas dasar diskusi yang rasional antara semua pihak yang berkepentingan dengan
kebijakan tersebut. Disinilah sebenarnya, naluri manusia sebagai makhluk sosial
muncul. Saya ingin mengatakan bahwa, naluri sosial manusialah yang seharusnya
lebih tinggi dari naluri individualnya. Sebab, hidup ini bukan tentang diri
sendiri, tetapi tentang Sang Pencipta dan sesama. Ketika membuat kebijakan
publik dalam diskusi-diskusi yang rasional, sudah seharusnya berdasar pada rasa
persamaan dan persaudaraan yang kuat. Pengaruh kapitalisme yang melahirkan
individualisme melahirkan kebijakan-kebijakan yang tidak memihak kepada rakyat
dewasa ini. Naruli individualis yang tinggi dan berakar telah membuat
sendi-sendi sistem demokrasi goyah. Seolah manusia berpikir bahwa ia mampu
mengerjakan semuanya sendiri dalam keterbatasannya dan tidak peduli terhadap
sesamanya. Ternyata salah. Ketika rakyat bersama pemerintah memiliki rasa
kebangsaan dan persaudaraan yang tinggi dalam membuat kebijakan publik, maka
naluri sosial bekerja dengan baik karena semua saling memahami dan mengetahui
kodrat masing-masing sebagai manusia.
Filosofi uang juga menjadi sorotan yang urgen dalam sistem
demokrasi sekarang ini. Ditengah-tengah kebebasan yang diakomodir dalam sistem
demokrasi, banyak terjadi kasus-kasus korupsi, suap, dan tindakan kriminal luar
biasa lainnya. Saya menyebutnya “kebebasan yang kebablasan”. Betapa tidak,
akhir-akhir ini banyak pejabat tertangkap karena melakukan suap dan korupsi.
Tidak mengherankan peringkat negara ini adalah teratas dalam hal korupsi dengan
perbandingan indeks pembangunan manusia yang jauh tertinggal dengan
negara-negara lain.
Ada sebuah kisah tentang seorang anak kecil yang membutuhkan uang
Rp. 300.000 untuk membeli sepeda baru. Ia sudah berhari-hari berdoa, tetapi
belum ada jawaban. Akhirnya, dia memutuskan untuk menulis surat permintaan dan
mengirimkannya kepada Tuhan. Pada sampul surat dia menuliskan "Kepada Yth.
TUHAN di sorga." Tentu saja alamat ini membingungkan Pak Pos. Akhirnya,
Pak Pos memutuskan untuk meneruskan surat itu kepada Presiden. Saat membaca
surat itu, Presiden merasa terharu. Dia lalu memerintahkan stafnya untuk
memenuhi permintaan itu. Tetapi staf Presiden memutuskan hanya akan memberi
uang Rp. 100.000, mereka menilai bahwa uang sejumlah itu sudah cukup banyak
untuk ukuran anak kecil.
Seminggu
kemudian, Presiden kembali menerima surat dari anak itu yang juga di tujukan
kepada TUHAN di sorga. Surat itu berbunyi, "Terima kasih Tuhan karena
sudah mengabulkan doaku. Tetapi, lain kali kalau mengirimkan uang, jangan lewat
pemerintah, ya. Seperti biasa, mereka mengkorupsi uang. Saya yakin bahwa engkau
mengirim uang Rp. 300.000, tetapi saya hanya menerima Rp. 100.000.”
Sungguh
sebuah kisah fiktif yang menampar siapapun yang menjadi budak korupsi dimana
terjadi kehilangan kepercayaan.
Akar dari segala kejahatan adalah cinta akan uang. Akibat cinta
akan uanglah maka sistem demokrasi gagal membawa Indonesia ke kehidupan yang
lebih adil dan makmur. Semua diukur dengan uang. Sadarlah hai para dan calon
koruptor, uang tidaklah penjamin kehidupan kita tentram dan bahagia. Akhirat
menanti kita. Semua perbuatan akan dipertanggungjawabkan dihadapan Sang
Pencipta.
Selanjutnya, demokrasi ekonomi Indonesia sebagaimana yang
diamanatkan oleh pasal 33 UUD 1945 seharusnya menjadi tuntunan untuk menata
perekonomian nasional yang mandiri dan bebas dari kepentingan asing. Ayat 3 berbunyi: Bumi dan air dan kekayaan
alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pasal ini sudah begitu jelas menjelaskan
bahwa seluruh kekayaan alam yang berada di perut bumi, di berbagai bukit dan
gunung-gunung, diatas tanah yang berupa hutan dan didalam air yang berupa
hasil-hasil sungai, danau dan lautan di seluruh wilayah Indonesia raya harus
diperuntukan dan digunakan untuk sebesar-besarnya kepentingan rakyat. Namun
segelintir kenyataan yang tengah terjadi menyiratkan hal itu. :
•4% penduduk menguasai 75% kekuatan ekonomi nasional.
•10% konglomerat memiliki aset 1/3 dari Gross Domestic Product.
• Kontrak kerja dengan perusahaan pertambangan asing memiliki beberapa keistimewaan, yaitu pajak penghasilan menjadi 30 % saja (merosot 5% dari sebelumnya), selain itu perusahaan asing boleh memiliki 100% saham dalam pengelolaan tambang.
• Para pemegang HPH (Hak Pengelolaan Hutan) yang jumlahnya tidak lebih dari 10 orang menguasai lebih dari separo hutan tropis kita. Mereka menggenggam izin untuk mengeksploitasi ribuan/jutaan hektar hutan yang dapat menjamin kemewahan untuk 27 turunan.
•4% penduduk menguasai 75% kekuatan ekonomi nasional.
•10% konglomerat memiliki aset 1/3 dari Gross Domestic Product.
• Kontrak kerja dengan perusahaan pertambangan asing memiliki beberapa keistimewaan, yaitu pajak penghasilan menjadi 30 % saja (merosot 5% dari sebelumnya), selain itu perusahaan asing boleh memiliki 100% saham dalam pengelolaan tambang.
• Para pemegang HPH (Hak Pengelolaan Hutan) yang jumlahnya tidak lebih dari 10 orang menguasai lebih dari separo hutan tropis kita. Mereka menggenggam izin untuk mengeksploitasi ribuan/jutaan hektar hutan yang dapat menjamin kemewahan untuk 27 turunan.
Kenyataan-kenyataan yang sedikit tersebut sudah sangat
menyimpang dari roh dan jiwa demokrasi ekonomi yang dikehendaki UUD 1945. Kemakmuran
keluarga dan sahabat lah yang diutamakan. Kedaulatan
politik dan ekonomi telah disubordinasikan dibawah kedaulatan uang.
Yang terjadi seharusnya adalah Perekonomian Lingkaran
Rakyat-dari rakyat, untuk rakyat dan oleh rakyat, bukan perekonomian yang hanya
dikendalikan oleh segelintir kapitalis “buncit” dan bermuka dua. Salah satu
contoh dikendalikannya perekonomian Indonesia adalah dalam hal Konperensi WTO
yang berlangsung di Bali. Negara-negara
lain seperti India berjuang mempertahankan kepentingan nasionalnya untuk tetap
meningkatkan subsidi pertanian bagi rakyatnya. Bagaimana dengan Indonesia?
Indonesia seperti robot yang dikendalikan oleh negara-negara maju untuk menghilangkan
subsidi pertanian sehingga negara-negara maju dengan perusahaan
multinasionalnya bisa memasuki secara bebas sektor pertanian Indonesia dan
mengendalikannya. Apakah kenyataan ini masih cocok disebut sistem demokrasi
yang katanya bahwa rakyat yang terutama? Sehingga kutipan berikut dalam pidato Bung Karno yang
berjudul Tahun Berdikari (Takari) terasa sulit untuk diwujud-nyatakan.
Kita harus bersandar pada dana dan tenaga yang memang sudah di
tangan kita dan menggunakannya semaksimal-maksimalnya. Pepatah lama “ayam mati
dalam lumbung” harus kita akhiri, sekali dan buat selama-lamanya. Kita memiliki
segala syarat yang diperlukan untuk memecahkan masalah sandang-pangan kita.
Barangsiapa merintangi pemecahan masalah ini, dia harus dihadapkan ke depan Mahkamah
Rakyat dan sejarah. Alam kita kaya-raya, rakyat kita rajin, tetapi selama ini
hasil keringatnya dimakan oleh tuan-tuan-tanah, tengkulak-tengkulak,
lintah-lintah darat, tukang-tukang ijon dan setan-setan desa lainnya.
Alam kita kaya raya namun yang terjadi ayam mati dilumbung.
Rakyat kecil menderita. Tuan-tuan tanah, tengkulak-tengkulak tingkat atas,
lintah-lintah darat, dan setan-setan pemilik modal telah menjajah rakyat
Indonesia. Indonesia tanah airku, tetapi tanah digusur dan air dibeli. Ironis
sekali.
Terapkan Demokrasi Kasih!
Demokrasi Kasih? Sungguh istilah yang menggelitik namun
membawa makna yang dalam jika ditelisik. Demokrasi Kasih bisa menjadi antitesa
untuk menekan naluri keberdosaan manusia dalam melaksanakan sistem yang
dibuatnya didunia ini. Apa dan bagaimanakah kasih?
Kasih itu mempunyai aspek mengekang
diri. Mengekang diri berarti menahan dan mengurangi semua naluri keberdosaan
kita dalam melakukan sistem demokrasi. Kasih itu sabar, tidak cemburu, tidak memegahkan diri, tidak sombong, tidak melakukan yang tidak sopan atau tidak kasar, tidak mencari
keuntungan diri sendiri, tidak pemarah, tidak bersukacita karena ketidakadilan
tetapi karena kebenaran, tidak menyimpan kesalahan orang lain, sabar menanggung
segala sesuatu. Kasih pada intinya mempunyai kerelaan untuk melepaskan hak
untuk marah, hak untuk kenikmatan, hak untuk diakui, hak untuk membalas.
Pertanyaan selanjutnya, siapakah yang
harus kita kasihi? Yang pertama dan terutama adalah Pencipta kita, kemudian
sesama manusia dan terakhir diri sendiri. Khususnya mengasihi diri sendiri,
bukan berarti mementingkan diri sendiri yang mana diajarkan oleh sistem
kapitalisme dewasa ini, tetapi lebih kepada penerimaan diri. Karena masih
banyak orang tidak bisa menerima dirinya sendiri dari segi fisik, kemampuan,
dan lain sebagainya.
Harus kita ingat, sekalipun kita
merasa diri kita mempunyai kemampuan yang lebih jika kita tidak mempunyai
kasih, kita sama saja dengan hewan.
Tanpa kasih, kehidupan berdemokrasi yang mengakui persamaan dan kebebasan tak
ubahnya seperti kehidupan rimba yang
bahkan hukum pun dibuat untuk dilanggar.
Mengapa harus demokrasi
kasih? Karena bukan monarki kasih, dimana tidak cukup hanya satu orang yang
memiliki kasih. Bukan oligarki kasih, karena tidak cukup hanya beberapa orang
yang memiliki kasih. Bukan aristokrasi kasih, karena masih tidak cukup hany
orang-orang terbaik dinegeri ini yang memiliki kasih. Bukan juga plutokrasi
kasih, karena ganjil rasanya jika hanya sekelompok orang kaya yang memiliki
kasih. Namun, yang benar-benar dibutuhkan sebagai antitesa sistem kebebasan
yang kebablasan ini adalah Demokrasi Kasih, dimana seluruh rakyat memiliki dan
menunjukkan kasih atau menjadi pelaku kasih dan menujukannya pada semua orang
tanpa terkecuali.
Kemerdekaan atau
kebebasan yang sesungguhnya bukanlah kebebasan dengan membiarkan naluri
kedagingan kita bertambah liar. Namun, kebebasan untuk mengekangnya. Merdeka
atau bebas bukan berarti berbuat semua yang kita anggap baik tanpa
memperhatikan orang lain dan juga sesuatu yang kita anggap baik belum tentu
baik bagi orang lain. Karena kebaikan didunia ini relatif. Hanya satu kebaikan
yang mutlak, yaitu kebaikan Sang Pencipta. Mari kita coba memaknai ulang bahwa
kebebasan dalam sistem demokrasi adalah kebebasan untuk menyatakan kasih kita
bagi semua orang. Apapun yang kita pikirkan, ucapkan dan lakukan dalam sistem
demokrasi ini, semua berdasar atas kasih yang tulus sebagai saudara. Ketikapun
konflik terjadi, kita harus memberikan segudang pengampunan sebagai wujud kasih
kita.
Di samping itu juga manusia memiliki
martabat sebagai seorang pekerja (pelayan) bagi sesamanya
yang memungkinkan kehidupan bersama menjadi nyata . Pelayan yang
tentunya bukan dalam artian budak. Kasih
dapat dinyatakan bila setiap orang memberikan dirinya bagi pelayanan dalam
masyarakat. Selamat ber-demokrasi kasih!
oleh: Hardo F.G.G Manik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar