Kotak kosong suara
“Aku
ingin agar mahasiswa-mahasiswa ini menyadari bahwa mereka adalah “the happy
selected few” yang dapat kuliah dan karena itu mereka harus juga
menyadari dan melibatkan diri dalam perjuangan bangsanya.” Dan kepada
rakyat aku ingin tunjukkan bahwa mereka
dapat tunjukkan bahwa mereka dapat mengharapkan perbaikan-perbaikan dari
keadaan dengan menyatukan diri di bawah pimpina patriot-patriot
universitas.
(Soe Hok Gie, Cacatan
Seorang Demonstran)
Bulan Mei merupakan bulan yang spesial bagi
sejumlah mahasiswa. Di bulan inilah ajang perhelatan ‘demokrasi’ terbesar di
kampus bertajuk “Pemihan Raya Mahasiswa” di gelar. Ajang yang sering
disebut sebagai ‘pesta demokrasi’ kampus terbesar ini bagi sebagian mahasiswa
merupakan momen spesial yang harus disambut, dipersiapkan dan dimanfaatkan
betul untuk berbagai tujuan, kepentingan politik? hasrat narsisme? Meruntuhkan
‘rezim’? atau sekedar ajang ‘coba coba berhadiah’ dengan mencalonkan diri pada
berbagai pos strategis lembaga kemahasiswaan.
Proses
awal sebuah demokrasi kampus akan menggiring Logika berpikir kita pada konklusi
dua hal, Pertama, kebijakan dengan menggelontorkan lebih banyak uang untuk
proses sosialisasi pemira, pemasangan spanduk, poster, baliho hingga media
sosial ‘membanjiri’ berbagai ruang publik kampus, Pemanfaatan setiap sudut
kampus akan selalu dipenuhi oleh baliho dengan desain foto dan raut muka maupun
senyum yang seolah menawarkan diri ‘’ayok pilih aku’’
Kedua, kita ‘dipaksa’ untuk percaya bahwa ada
semacam “angin surga” perubahan dan harapan baru dari calon-calon aktor baru
dalam setiap pemira, yang sejatinya minim gagasan visioner. Angin surga akan di
desain dengan sebuah diksi yang dikemas sebagai
ungkapan visi dan misi dengan tambahan bumbu retorika tinggi yang membuat kalangan
pembaca malas untuk mengarahkan pandanganya kesana,, tetapi di sisi lain itu
akan tetap terpangpang dengan adanya harapan dan kenyataan yang baru bagi
sebagian kalangan yang dapat memaknainya, meskipun pada kenyataan itu janji itu
akan menghilang seiring dengan pudarnya dan hilangnya baliho yang tak seberapa
itu.
Niscaya
benar atau tidak hal ini akan membuat mahasiswa usu akan semakin
apatisme,dengan hasil rekapitulasi suara yang mebuktikan minimnya kotak kosong
yang berisi dengan jumlah 13.219 pada tahun 2013. Dari 33.000 0rang mahasiswa.60 persen memilih jalannya sendiri
untuk tidak ikut dalam menentukan pilihannya.
Namun
benarkah mahasiswa USU enggan berpartisipasi hanya karena soal kinerja buruk
aktor atau soal sosialisasi? Kinerja EKSEKUTIF atau PEMA universitas DAN
LEGISLATIF ATAU MPMU yang seharusnya Sebagai kaum muda yang merdeka yang tidak
terikat dengan berbagai kepentingan serta landasan Tri Darma perguruan tinggi yakni
pendidikan penelitian dan pengabdian masyarakat yang akan menjadi garda
terdepan dalam era yang penuh tantangan yang berperan sebagai agent of change
(pembukaan mukadimah tlo usu) telah
jelas di rumuskan dalam TLO USU yang selanjutnya di terjemahkan dalam garis besar
program kerja organisasi sebagai landasan utama dalam melangkah dengan
mempertimbangkan kebutuhan mahasiswa.
Awal utama melihat kinerja dipengaruhi oleh
proses sosialisasi akan perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi.sehingga kita
bisa memberi pandangan akan realita yang terjadi. Namun yang terjadi saat ini
keberadaan PEMA dan dan seluruh jajranyya akan menghilang dan akan bersembunyi
di balik layar dengan menikmati fasilitas sambil menggoyang kaki bahkan sampai
tertidur nyeyak di balik pintu sekretariatnya.
dimana mereka bermimpi telah menyelesaikan tugas dan tanggung jawabnya setelah
resmi menduduki kursi panas kampus itu.tanpa peduli akan apa yang terjadi diluar
sana hingga pada suatu saat akan bangun sendiri dan akan berujung pada pembentukan tim baru yaitu KPU (Komisi
Pemilihan Umum) dalam ranges waktu yang mereka tentukan sendiri.demikian halnya
dengan MPMU yang seharusnya yang paling menggercoki dan paling meributi kinerja
PEMA malah masih bergelut di masalah internal yang berujung pada pembuatan
struktur kepengurusan hingga pada saat ini.
Bukan kah
ini sangat hebat, tata lakasana yang seharusnya dijungjung tinggi sebagai
konstitusi mahasiswa telah dijadikan sebagai hal yang ke seratus setelah egoisme dan kepentingan pribadi.
Rutinitas belaka untuk mengulang hal yang sama tanpa adanya laporan sebagai
wujud pertanggungjawaban apa yang dilakukan personal aktor adalah variabel
determinan dalam hal mengapa mahasiswa menjadi ‘apatis’.dan tentu hal hal
demikian akan membuat mahasiswa tak mau lagi terlibat dalam fungsinya sendiri
yaitu control sosial bahkan memilih untuk memberikan suara akan merasa sungkam
Sehingga
pada akhirnya proses panjang dan tak seberapa ini hanya akan dijalankan oleh
orang orang yang peduli bertanggug jawab dan harus mementingkan kepentingan
seluruh mahasiswa usu dengan sikap berani dan bukan lagi tendensius kepada
kepentingan kepentingan oknum tertentu sehingga suara rakyat jelata usu pun
dapat tersampikan demi kebaikan usu yang
membawa perubahan yang lebih baik
”Politik adalah barang barang
yang paling kotor.lumpur- lumpur yang kotor.tapi suatu saat dimana kita tidak
dapat menghindar diri lagi maka terjunla”
GMKI FEB USU.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar